Family oriented and education oriented

Senin, 29 Agustus 2016

Ajari aku untuk ikhlas, Tuhan.

08.39 Posted by Harna Nawir 2 comments
Sesekali jiwaku menjerit, merintih karena luka yang tak tertahan. Menikam-nikam tepat di ulu hatiku. Aku tak mengerti, bagaimana cara mengikhlaskan duka dan menahan pedih. Kata orang-orang, aku harus bersabar mengahadapi cobaan ini. Tapi, apa aku sanggup menutup mata dan melupakan orang-orang terkasih yang meninggalkanku diwaktu yang bersamaan. Rasa-rasanya, aku tak bisa bersabar. Apakah memang keadilan tak pernah ditujukan kepadaku? Tuhan merenggut mereka. Sekaligus!! dan aku hidup sendiri di rumah ini.

Kecelakaan itu menjadi peristiwa terpedih yang pernah kualami, suami dan anakku menghembuskan nafas terakhirnya tepat di depan mataku di dalam mobil Avanza putih yang tak berbentuk lagi karena tabrakan dengan truk. Tuhan, tak mengapa jika memang waktu itu Engkau langsung mengambil nyawaku saja.

Jujur, aku tak sanggup menahan perih karena kehilangan mereka.  
Jujur, aku tak mampu mengikhlaskan kepergian mereka

Tepat, satu malam sebelum kecelakaan itu aku bermimpi. Dalam mimpi itu, aku melihat mas dan Aisyah pergi ke taman yang entah dimana, taman itu terlihat sangat indah dan sejuk rasanya. Aku ingin menyusul mereka, tiba-tiba mereka menghilang.
Tuhan, mungkin ini menjadi tanda perpisahan kami. Engkau memberi tanda tapi aku tak memahaminya. 

Pagi sebelum kami mengalami peristiwa itu, suamiku sempat berkata "Ma, aku sudah bayar tagihan listrik, aku sudah perbaiki mesin cuci yang kemarin bermasalah. Oh iya ma, kalau kamu sendiri di rumah jangan lupa tutup jendela depan, kebiasaan mama ga pernah tutup rapat. Sholat isya nya juga jangan telat kayak tadi malam, udah mau pukul 23.00 baru shalat isya" ucapnya dengan nada becanda

"Siap mas, kan ada mas yang bisa tutup jendela dan ingetin aku buat sholat tepat waktu" ucapku waktu itu

Aku tak tau, kalimat itu adalah kalimat terakhir darinya. Kalimat penutup selama 8 tahun kebersamaan kami. Sosok yang menjadi teladan di keluarga kecil kami. Seorang yang tegas dan bijaksana.
Aku merindukanmu mas, sungguh. 

Anakku yang lucu itu, Aisyah. Tak ada lagi yang kubuatkan sarapan setiap pagi, antar ke sekolah dan menemaniku sholat disampingku meski sesekali dia mengganggu gerakan-gerakan sholatku.
Ada rindu yang tak tertahan, tapi tak mungkin kuobati dengan pertemuan. 
Lagi-lagi air mataku menetes sembari menatap foto kami bertiga, menatap mereka dengan penuh rasa kehilangan. Rasa-rasanya, air mata belum mampu menunjukkan kesedihan yang kurasakan, ada tangisan yang tak terlihat, namun sangat terasa merejam dadaku hingga sesak. Aku belum bisa menjadikan mereka kenangan, belum sanggup melihat ketidakhadiran mereka di rumah ini.
Sebulan, dua bulan, satu tahun bahkan selama sisa hidupku aku akan selalu merindukannya.

Mas, aku masih butuh nasihatmu yang dulu tak jarang kuabaikan, aku butuh bantuanmu saat aku tak bisa menangani masalah rumah tangga, aku masih perlu dingatkan untuk sholat tepat waktu olehmu, aku masih butuh imam untuk mengimaniku saat sholat tahajjud. Aku masih butuh kamu, mas.

Nak, aku masih ingin mendengar kamu memanggilku 'mama' saat kau tak bisa memasang tali sepatumu. Aku ingin mendengar teriakanmu saat ada seeokor semut yang menempel di badanmu. Aku ingin mendengar celoteh lucumu, yang membuatku sekejap lupa dengan masalah rumah tangga, masih banyak buku cerita di kamarmu yang belum sempat aku bacakan. Nak, aku masih ingin mengajarimu banyak hal.
Banyak cerita yang belum usai diantara kita, rasa-rasanya terlalu cepat perpisahan ini. 
Tuhan, tunjukkan aku bagaimana cara mengikhlaskan kepergian mereka. 

Cobaan ini terlampau berat dipundakku, aku belum bisa ikhlas seperti keikhlasan nabi Ayyub as. saat beliau harus kehilangan anak-anaknya, harta bendanya, dan penyakit yang menimpannya. Tidak sanggup setabah Rasulullah SAW saat harus kehilangan putra putrinya, belum bisa mendekati ketabahan dan keikhlasan beliau.
Aku manusia biasa yang saat ini hanya bisa meratapi kepergian mereka. Imanku terbilang masih rendah untuk menerima cobaan seberat ini. 
Tuhan, satu hal yang kuyakini saat ini bahwa setelah perpisahan akan datang sebuah pertemuan, mungkin saja Engkau sudi mempertemukan kami kembali di akhirat kelak di dalam surga-Mu.


2 komentar: