Family oriented and education oriented

Minggu, 04 September 2016

Maharnya adalah Islam

09.03 Posted by Harna Nawir 1 comment
Ini adalah kisah Ummu Sulaim binti Milhan yang telah memeluk islam. Orang yang pertama kali marah dan menentangnya adalah suaminya sendiri, Malik. lelaki ini sangat murkasaat ia pulang dari perjalanannya dan mengetahui perihal keislaman Ummu Sulaim. Dengan penuh emosi Malik bertanya, "Apakah engkau telah berpindah agama?"

Ummu Sulaim menjawab dengan keyakinan penuh, "Aku tidak berpindah agama, melainkan telah beriman dan menjadi mukmin."
Ummu Sulaim juga menuntuk putranya, Anas (Anas ibn Malik), untuk mengucapkan la ilaha illallah.

Anas pun mengucapkannya. Sang ayah semakin marah. Ia menghardik Ummu Sulaim "jangan rusak anakku"
"Aku tidak merusaknya." bantah Ummu Sulaim

Mendengar istrinya terus mengulang-ngulang kalimat tersebut setegar karang, Malik keluar dari rumahnya dalam keadaan marah besar. Syang, ia bertemu dengan musuhnya, dan akhirnya tewas di tangan musuhnya itu.
Ketika Ummu Sulaim mendengar kabar kematian suaminya, ia tetap bersabar dan berkata. "Tak mengapa. Aku tidak akan menyapih paksa Anas sebelum ia sendiri yang mau dan aku tidak akan menikah sebelum Anas yang menyuruhku".

Ummu Anas menghadap Rasulullah dengan malu-malu. Ia ingin menyerahkan Anas untuk menjadi pelayan Raulullah SAW. beliau pun menyambutnya dan menerimanya dengan baik. 

Khalayak pun ramai membicarakan kisah Anas ibn Malik dan ibunya dengan nada takjub dna kagum. Hal ini didengar pula oleh Abu Thalhah. Timbullah niatnya untuk meminang Ummu Sulaim dan menawarinya mahar tinggi. Akan tetapi, sekali lagi satu kejutan membuatnya tercengang. Lidahnya terasa kelu tatkala Ummu Sulaim menolaknya mentah-mentah dan penuh harga diri. Ummu Sulaim berkata. "Aku tidak layak menikah dengan seorang musyrik. Tidakkah engkau sadar. Abu Thalhah, bahwa Tuhan kalian dibuat dan dipahat oelh keluarga si Fulan? Andai tuhan itu kalian bakar, pasti ia terbakar.

Abu Thalhah merasa trsinggung dengan sikap Ummu Sulaim. Ia berbalik peri, masih dengan rasa tak percaya akan apa yang diihat dan didengarnya. Akan tetapi, keesokan harinya ia kembali dan menwarkan mahar yang lebih tinggi serta kehidupan yang lebih sejahtera, dengan harapan hati Ummu Sulaim luluh dan mau menerimanya. Namun, Ummu Suaim yang mulia, yang melihat dunia menari-nari di matanya, merasa bahwa benteng Islam di hatinya lebih kuat daripada kenikmatan dunia itu. Dengan santun ia berkata "Demi Allah, orang sepertimu sungguh tak layak ditolak, Abu Thalhah. Akan tetapi, engkau adalah orang kafir, sementara aku adalah wanita muslimah. Tak dihalalkan bagiku untuk menikah denganmu. Jika engkau bersedia masuk islam, itu akan menjadi mahar bagiku, dan aku tidka mengharapkan apa-apa darimu selain itu.

Kalimat ini menggetarkan jiwa Abu Thalhah dan menyentuh relung kalbunya. Ummu Sulaim benar-benar telah berhasil menggugah hatinya. Ia bukan tipe perempuan yang bisa dipermainkan dengan kenikmatan duniawi. Ia adalah wanita berakal yang menghargai eksistensi dan jati dirinya. Bisakah Abu Thalhah menemukan wainita yang lebih baik dari itu untuk menjadi istrinya dan ibu bagi anak-anaknya?
Abu Thalhah tak merasakan apa-apa kecuali lidahnya yang terus menerus mengucap "Aku telah menjadi sepertimu. KAu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah untusan Allah".

Ummu Sulaim lalu memandangi anaknya, Anas. Dengan penuh kebahagiaan, setelah Allah memberi hidayah kepada Abu Thalhah melalui tangannya, ia berkata "Bangkitlah Anas. kawinkan aku dengan Abu Thalhah". Anas pun mengawinkan Abu Thalhah dengan ibunya, dan maharnya adalah keislamannya.

Itu sebabnya Tsabit, perawi hadits tersebut, berkata. "Aku tak pernah mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya daripada Ummu Sulaim, sebab maharnya adalah islam."
Ummu Sulaim adalah sosok teladan istri sholehah yang mampu menunaikan hak-hak suami dengan baik. Ia juga contoh ibu yang ideal, pendidik yang mulia, sekaligus dai yang tangguh.

Demikianlah, Abu Thalhah akhirnya memeluk Islam di tangan istrinya yang mulia, Ummu Sulaim. Selanjutnya, ia turu memancar dari sumur nubuwat sehingga menjadi setara dngan Ummu Sulaim dalam hal kemuliaan.

Kisah ini diambil dari buku "Bekal Pernikahan" oleh Syaikh Mahmud Al-Mashri